Oleh.
Yohanes Giyai
Foto : doc pribadi Yohanes Giyai |
Proyek Lumbung Padi di Kabupaten Merauke Provinsi Papua ini,
merupakan satu contoh nyata mega proyek yang sangat kontroversial dan mempresentasikan
kompleksitas, ketidak pastian dan perubahan persoalan lingkungan hidup.Proyek
ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan sosial dan politis pemerintah Jokowi-JK untuk membangun mimpi swasembada
pangan (beras).satu program yang dianggap cukup solutif bagi pemerintah ini, karena dilaksanakan
kembali ketika bangsa indonesia menghadapi krisis pangan serta Impor beras yang
terus ada tia tahunnya. Upaya membangun proyek Lumbung padi ini juga mulai
mendapatkan perhatian yang serius terutama ketika terjadi proses
urbanisasi dan perkembangan di pulau
jawa semakin mengancam eksistensi lahan-lahan persawahan subur di pulau jawa,
sehingga memposisikan lahan-lahan pertanian subur berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan
dan berdampak terhadap produksi beras nasional yang semakin berkurang. Data BPS
menunjukkan luas lahan pertanian padi di Indonesia pada tahun 2010 tinggal
12,870 juta hektar, menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12,883
juta hektar. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada
2010 diperkirakan berjumlah 19,814 juta hektar, menyusut 13 persen dibanding
tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta ha.Untuk terus mensuplai kebutuhan beras
di Indonesia terpaksa dilakukan impor beras dari beberapa negara tetangga
seperti Vietnam,India,Pakistan dan Myanmar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) RI mencatat selama Januari- Agustus 2015, Indonesia telah mengimpor beras
khusus dari berbagai negara tetangga sebanyak 225.029 ton dengan nilai 97,8
juta dolar AS.
Awal tahun 2010 Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) no 18 tahun 2010 tentang food estate
atau pertanian tanaman pangan berskala luas.Akhirnya Pemerintah membentuk dan
meresmikan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Yang kemudian disusul
dengan Permentan yang menindaklanjuti PP tersebut. Poin penting dari pelaksanaan
program perkebunan skala luas ini ialah kepastian dan perlindungan ijin usaha
bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mengembangkan industri pertanian pangan. Sejauh
ini Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perijinan (BKPMDP), Pemerintah telah
memberikan ijin bagi 32 perusahaan untuk mengelola lahan pertanian seluas 1,2
juta Hetare di Merauke. Proyek ini memilih lahan Hutan bercampur savana dan
rawa yang merupakan vegetasi khas alami yang utama diujung selatan Papua. dan
Pemerintah RI Jokowi-JK berencana menyelesaikan proyek ini dalam tahun 2015
sampai 2017. Proyek ini memang begitu ambisius, karena direncakan melalui
proyek ini akan dibuka paling tidak 1 juta hektare sawah baru dan 2000 hektare
lahan untuk jaringan irigasi dan jalan,
sarana prasarana pedukung,serta perumahan bagi petani transmigran penggarap
sawah. Menurut Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran (Kemendes
PDTT) sekarang telah ada 275 ribu lebih
petani transmigran yang bekerja dibidang pertanian dan kemungkinan akan ada
lagi pengiriman transmigrasi ke Merauke sebagai penggarap lahan pertanian itu. jika
misalnya tak ada penambahan petani maka Ini berarti setiap petani akan mendapatkan lahan sawah
seluas 36,36 ha dan dibekali alat modern,. secara kasar diproyeksikan bahwa
lahan sawah baru ini akan mampu mengahasilkan beras paling tidak 28,4 ton
beras, sehingga impor beras yang saat ini dilakukan dapat dihentikan dan devisa negara dapat
dihemat.Oleh karena merupakan program pemerintah yang sangat ambisius serta
dukungan kuat dari Presiden Jokowi proyek ini penuh dengan kejanggalan dan
ketidak transparan, karena banyak keputusan diambil begitu saja tanpa melalui
suatu proses pengkajian dan sosialisasi, bahkan dalam beberapa hal tidak
mengikuti prosedur dan peraturan yang seharusnya terkait Otonomi Khusus dan
Hukum Lingkungan Hidup.
Program
mega proyek yang sangat ambisius ini menimbulakan kontroversi dan perdebatan.
dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, proses perencanaan dan
pelaksanaan ini tidak transparan, tanpa kajian mendalam, serta menyalahi
peraturan dan perundangan yang ada. sebagai misal, studi Analisis dampak
lingkungan (AMDAL) proyek ini " baru " disusun sepihak pemerintah
setelah beberapa waktu setelah proyek dimulai.dengan demikian tidak ada niat
baik pemrakarsa (pemerintah) untuk mengkaji sejak awal dampak yang kira-kira
akan muncul akibat proyek ini. Kedua secara Hidrologi sebagian
lahan yang dikembangkan adalah daerah resapan air (drainase alam) maka secara
teknis dipertanyakan mengenai proses pembuatan saluran-saluran drianase dan
Irigasi untuk pengaturan air proyek, jika proses pembuatan saluran tersebut tidak
memperhatikan keragaman dan karateristik lahan yang ada maka dikhawatirkan akan
menimbulkan banjir ataupun kekeringan yang parah.Ketiga, tidak dikaji
keragaman flora dan fauna yang ada pada lahan yang akan dikembangkan,sehingga
proyek tersebut akan mempunyai dampak negaif terhadap keanekaragamaan Hayati
dan luasan hutan bercampur savana dan rawa yang merupakan vegetasi khas alami
yang utama diujung selatan Papua.Keempat perhitungan atau analisis biaya dan manfaat proyek
tersebut tidak jelas dan kurang meyakinkan dengan kata lain, terlalu banyak
uang pemerintah dan investor yang harus dialokasikan pada proyek ini yang
secara ekonomis belum tentu memberikan manfaat bagi masyarakat pribumi. Kelima,
proyek ini akan mempunyai implikasi sosial yang luas,karena lahan yang akan
dikembangkan terutama berada pada tanah adat serta pengiriman transmigaran dari
pulau Jawa,Sulawesi dan kalimantan. Singkatnya dari ukuran teknis,lingkungan
dan ekonomi maupun sosial dapat dikatakan proyek ini tidak layak karena dampak
negatifnya diangga lebih banyak dari pada dampak positifnya.
Tetapi
sayangnya berbagai pertimbangan teknis, lingkungan,ekonomi dan sosial diatas,
sama sekali tidak mempengaruhi pertimbangan politis pemerintah untuk terus
merealisasikan proyek. Banyak dari masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat
sebenarnya tidak setuju dengan proyek
ini tetapi sedikit yang bersuara, terutama kebijakan pemerintah pusat yang
memaksakan daerah dan ,represif saat ini yang tidak memungkinkan perdebatan
yang fair,objektif dan terbuka tentang
persoalan proyek ini.Lebih lanjut keterlibatan militer dengan alasan
pengamanan proyek saat ini juga memebuat
seaka-akan segalanya mulus.Ketakutan kehilangan muka para penentu kebijakan ditingkat
daerah Papua sekarang ini juga mendorong diteruskannya proyek yang banyak mendapatkan
sorotan dan kritik dan berakibat pada ketidakberdayaan Pemerintah dan masyarakat daerah Papua untuk
menolak segala program-program yang
datang dari pusat,khususnya dari presiden, juga menyebabkan diteruskannya proyek
yang sangat beresiko tinggi tersebut. Dan tak kalah penting, lemahnya
penegakkan hukum lingkungan hidup di Indonesia yang tidak memungkin untuk
menjalankan proses kontrol terhadap direalisasiakannya proyek-proyek
pembangunan yang beresiko terhadap rusaknya lingkungan. singkatnya sistem
sosial dan politik indonesia di Papua saat ini sangat tidak kondusif bagi upaya-upaya
perjuangan pelestarian lingkungan. sekali pemerintah pusat telah menentukan, masyarakat pemerintah
daerah tidak mempunyai kekuatan untuk menolak atau bahkan mempertanyakan proyek
tersebut.Suara-suara yang berlawanan dengan keputusan pemerintah dapat
dikategorikan sebagai mereka yang melawan pemerintah atau bahkan sebagai
pemberontak yang perlu diberikn pelajaran dan hukuman.
Jika hal-hal ini dibiarkan terus
terjadi demi kepentingan ekonomi politik indonesia maka suatu saat kelak anak
cucu akan menghadapi ancaman krisi ekologi yang sangat mengkhawatikan. Mari
Selamatkan Tanah dan Manusia Papua.
Penulis adalah Mahasiswa
Papua kuliah di Univ.Brawijaya Malang.
Tulisan ini telah dipublis melalui media Online Citisen PAPUALIVES.com
0 Comments