Oleh Yohanes Giyai


Gambar Ilustrasi.doc
PADA tahun 1915 sampai dengan 1918, pada saat Perang Dunia I (PD I) berlangsung, pemerintah Turki secara sistematis membantai populasi Armenia yang ada di negara itu. Orang Armenia menjadi korban deportasi, pengusiran, penyiksaan, pembantaian dan kelaparan. Sejumlah besar populasi Armenia ini diusir ke Syria dan padang pasir, sehingga mereka mati akibat kelaparan dan kehausan.
Pembantaian terhadap ras Armenia kembali terjadi tahun 1920 sampai dengan 1923. Kali ini dilakukan oleh oposisi Pemuda Turki yang memiliki pandangan kemurnian ras yang sama. Total diperkirakan satu setengah juta orang Armenia terbunuh selama periode 1915- 1923 tersebut.

Dua pembantaian ras Armenia di Turki ini, tak bisa dilepaskan dari peran media di Turki sejak tahun 1915. Media Turki, selama periode PD I, telah membangun propaganda ideologis tentang pembentukan kekaisaran Turki baru yang disebut Pan-Turanism, yang terbentang dari Anatolia hingga Asia Tengah. Ide Pan-Turanism rencananya hanya menjadi milik orang Turki asli saja. Propaganda inilah yang menjadi pembenaran atas pembunuhan besar-besaran dalam dua periode waktu tersebut.

Turki dan periode kekelamannya hanyalah salah satu dari contoh bagaimana media terlibat dalam propaganda yang secara sadar meletakkan satu komunitas berada di bawah komunitas lainnya. Praktik rasisme secara struktural ini, pernah terjadi juga pada zaman Yunani dan Romawi kuno. Juga terjadi pada zaman perbudakan ras Afrika abad XVI. Setelah kesombongan Turki, Nazi kembali mempraktikkan rasisme struktural ini terhadap bangsa Yahudi. Paska Perang Dunia II, rasisme struktural ini terjadi lagi secara masif di Afrika Selatan, bangsa Indian di benua Amerika dan bangsa Aborigin di Australia. Dua yang terakhir, masih terjadi hingga saat ini. Pada semua praktik rasisme struktural ini, peran media massa sangat signifikan dalam membangun opini publik yang memungkinkan hal itu terjadi.

Media massa ibarat pedang bermata-dua. Pada satu sisi ia bisa memainkan peran untuk mendorong terwujudnya kondisi sosial yang egaliter dan harmonis di antara beragam perbedaan sosial dan politik. Pada sisi lainnya, media massa adalah alat propaganda yang ampuh untuk memelihara rasisme struktural yang pada akhirnya membenarkan tindakan kekerasan secara berkelanjutan oleh Negara yang dikuasai oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Di sini kelompok minoritas ditempatkan pada posisi yang paling rendah dalam kebudayaan dan akal budinya.


Pepera 1969 tidak Demokratis dan Nasionalisme Rakyat Papua Barat

Banyak masyarakat indonesia yang mengangap bahkan yakin bahwa papua memang benar bagian dari NKRI dan bahkan pernah berjuang bersama rakyat indonesia untuk merebut kemerdekaan indonesia dari klonial Belanda, jika dilihat dalam sejarah bangsa indonesia berbagai organisasi sektoral kedaerahan yang bersatu didalam kegiatan momentum Sumpah Pemuda tidak pernah ada perwakilan dari dari Bangsa Papua, tetapi yang ada ketika itu adalah Jong Jawa, Jong Celebes dst. Pada saat yang bersamaan Bangsa Papua berjuang sendiri untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaannya dari Belanda, sehingga kedua bangsa ini memiliki sejarah perjuangan yang berbeda namum papua tetap berada dibawah kontrol Belanda dan Mendapatkan Pengakuan Kemerdekaannya pada, 1 Desember 1961 dari Klonial Belanda, Ketika Negara Papua berumur 18 Hari, tepatnya 19 Desember 1961, dikumandangkan TRIKORA, oleh Soekarno di Alun-alun Yogyakarta, inti dari isi trikora yakni membubarkan dan merebut Papua kedalam NKRI secara Fisik dan Paksa.

Perebutan wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York Agreement/Perjanjian New York”. Perjanjian ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat kedalam pangkuan NKRI.

Kemudian pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong investasi , pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. Namun dalam prakteknya, Indonesia memobilisasi Militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketua Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.

Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia.

Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat. Kemudian semua tindakan kekerasan ini justru semakin menyuburkan Nasionalisme Bangsa Papua yang pernah memproklamirkan kemerdekaannya, 1 desember 1961 di Holandia kini Jayapura Papua Barat.

Mencari Legitimasi atas Eksistensi Penjajahan Indonesia dan Amerika di Papua

Sudah sangat lama, bangsa indonesia hidup dibawah kekuasaan otoriter Soeharto 1965/1998), banyak hal yang telah dilakukan, yakni membuka cerobong investasi kapitalis global, menyingkirkan masyarakat indonesia yanag berbeda pandangan dengan sistem yang berkuasa, melakuan propaganda di media dan menyebarkan sejarah-sejarah palsu di sekolah. Dalam kondisi seperti itu, rakyat Papua terus berjuang untuk menuntut pengakuan atas kemerdekaannya yang telah dicaplok oleh indonesia dan amerika untuk kepentingan Ekonomi politik mereka.

Dalam mempertahankan hegemoniknya digaungkan politik developmentalisme yang kemudian meletakkan orang papua sebagai objek yang tertinggal dan terbelakang dan harus dibangun budaya dan lain-lainnya. Bahkan isu investasipun digunakam menjadi komoditas untuk melancarkan startegi mempertahankan hegemonik meraka, dengan hadirnya perusahan tambang dan lain-lain akan memberikan kesejahteraan kepada Masyarakat papua, namun dalam prakteknya nihil dan hanya menguntungkan para kapitalis birokrat dan kapitalis korporat.

Beberapa bulan lalu terdengar nyaring ditelinga kita dan dibombastikkan oleh berbagai media masaa bahwa, Nasionalisasi Freeport oleh Negara indonesia, hal ini mendapatkan banyka dukungan dari berbagai pihak, Birokrat,Legislatif, Akademisi , Masyarakat bahkan mahasiswa indonesia tanpa melihat lebih jauh dibalik, siapa pemilik Gunung Emas di Papua dan bagaimana masa depan mereka? Memang benar bahwa Negara telah berhasil membangun opini publik di masyarakat indonesia untuk melegitimasi tuntutan untuk menasionalisasi Freeport yang dibalikanya telah dikorbankan beribu Rakyat Papua.

Isu Fundamental NKRI HARGA MATI pun dibangun di kalangan masyarakat Indonesia bahkan dilengkapi dengan Laskarnya pula yakni, Pemuda Pancasilan dan sejenisnya, Hal-hal ini terus dipelihara oleh negara dengan alasan bahwa ada ancaman terhadap ideologi pancisala, sementara Aparatus negara bertingkah liberal dalam kebijakannya. Isu fundamentl ini telah membangun kontruksi fundamental NKRI harga mati dan terbentuk pula Nasionalisme sempit, yang bertolak belakang dengan prinsip demokrasi, HAM dan lainnya. Sehingga Negara sedang mencoba membangun gerakan masyarakat untuk dibenturkan dengan gerakan Rakyat Papua yang mengunakan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM (The Right toSelf Determination) untuk mewujudkan kemerdekaannya.

Semoga Demokrasi di Indonesia semakin baik untuk meningkatkan Partisipasi masyarakat dalam berbagai pengambilan kebijakan oleh negara, sehingga keadilan sejati dapat diwujudkan secara paradigmtik maupun menjadi falsafah hidup, karena akan mendorong pada melihat secara jernih problem rakyat papua tanpa ditumpangi kepentingan manapun dan dapat diselesaikan secara damai dan adil.


Refresi :
https://indoprogress.com/2015/06/media-massa-rasisme-struktural-dan-legitimasi-kekerasan-di-papua/, diakses, 17 Mei 2017. Pukul : 10:00 wib.
http://tabloidjubi.com/16/2014/07/21/pepera-1969-tidak-demokratis-hak-menentukan-nasib-solusi-bagi-rakyat-papua/. Diakses.17 Mei 2017. Pukul : 11:06 wib